Inovasi Dosen ITB: Pengolahan Limbah Penyamakan Kulit di Garut
9 mins read

Inovasi Dosen ITB: Pengolahan Limbah Penyamakan Kulit di Garut

Inovasi Dosen ITB – Tim dosen dari Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati Institut Teknologi Bandung (ITB) baru-baru ini memperkenalkan inovasi berupa alat pengolahan limbah untuk menangani limbah hasil proses penyamakan kulit di daerah Sukaregang, Kabupaten Garut, Jawa Barat. Daerah Sukaregang dikenal sebagai pusat industri penyamakan kulit yang besar, namun juga menghadapi tantangan terkait pencemaran lingkungan akibat limbahnya.

Alat yang diperkenalkan oleh tim ITB ini dinamakan lahan basah buatan atau constructed wetland, yang didesain dengan cara bertingkat dan dapat mengapung. Metode ini diharapkan dapat menjadi solusi ramah lingkungan bagi pengolahan limbah penyamakan kulit, yang sering kali mengandung bahan kimia berbahaya. Dengan menggunakan tumbuhan sebagai media utama, alat ini berfungsi untuk menyaring dan membersihkan limbah secara alami sebelum dilepas kembali ke lingkungan.

“Fungsinya mengolah limbah dengan menggunakan tumbuhan,” kata Taufikurahman, salah satu dosen dari tim tersebut, kepada Tempo pada Selasa, 29 Oktober 2024. Konsep lahan basah buatan ini didasarkan pada proses alami yang memanfaatkan tumbuhan tertentu yang memiliki kemampuan untuk menyerap dan memecah bahan kimia berbahaya dalam air limbah.

Alat ini tidak hanya inovatif tetapi juga efektif untuk mengurangi dampak negatif dari limbah penyamakan kulit terhadap lingkungan sekitar. Selain itu, penggunaan tumbuhan sebagai media pengolah membuat alat ini memiliki keunggulan dalam hal keberlanjutan dan efisiensi biaya, dibandingkan dengan metode pengolahan limbah kimiawi lainnya yang lebih mahal dan rumit.

Dengan diperkenalkannya lahan basah buatan ini, diharapkan industri penyamakan kulit di Garut dapat berkontribusi pada pengurangan pencemaran lingkungan, sekaligus meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar.

Proyek Lahan Basah Buatan: Solusi Inovatif untuk Limbah Penyamakan Kulit di Garut

Proyek pengolahan limbah cair dari penyamakan kulit di Garut yang dipimpin oleh tim dosen dari Institut Teknologi Bandung (ITB) tak hanya menjadi inovasi teknologi, tetapi juga contoh kolaborasi nyata dengan masyarakat dan para pemangku kepentingan. Taufikurahman bersama koleganya, Devi N. Choesin, telah merintis proyek ini sejak Mei lalu dengan tujuan untuk mencari alternatif solusi bagi permasalahan limbah cair yang dihasilkan oleh industri penyamakan kulit di Garut, khususnya di kawasan Sukaregang.

Pada 24 Oktober 2024, tim dosen ITB mengadakan pertemuan penting yang dihadiri oleh berbagai pihak terkait, termasuk masyarakat terdampak limbah, perangkat kelurahan, perwakilan Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI), dan perwakilan Dinas Perindustrian dan Perdagangan Kabupaten Garut. Pertemuan ini bertujuan untuk memperkenalkan inovasi lahan basah buatan (constructed wetland) yang dapat mengolah limbah dengan memanfaatkan tumbuhan, sekaligus mengajak semua pihak untuk berpartisipasi dalam pelaksanaan proyek ini.

Selama pertemuan, masyarakat terdampak dan para pemangku kepentingan lainnya diajak untuk memahami bagaimana alat ini dapat membantu mengurangi pencemaran yang disebabkan oleh limbah penyamakan kulit, yang selama ini menjadi masalah serius bagi lingkungan dan kesehatan masyarakat sekitar. Diharapkan dengan penerapan teknologi ini, kualitas lingkungan di daerah Garut bisa meningkat, dan industri penyamakan kulit dapat lebih bertanggung jawab terhadap limbah yang dihasilkan.

Pendekatan kolaboratif ini menjadi kunci keberhasilan proyek lahan basah buatan, dengan menggandeng semua pihak yang terlibat dalam proses pengolahan limbah. Selain sebagai upaya menciptakan solusi teknologi yang berkelanjutan, pertemuan ini juga menjadi momentum penting untuk meningkatkan kesadaran akan pentingnya pengelolaan limbah yang baik, demi keberlangsungan lingkungan dan kesehatan masyarakat Garut.

Dilema Industri Penyamakan Kulit di Garut: Manfaat Ekonomi vs Dampak Lingkungan

Industri penyamakan kulit di Garut, khususnya di kawasan Sukaregang, telah memberikan manfaat ekonomi yang signifikan bagi daerah. Menurut Taufik, dosen dari ITB yang terlibat dalam proyek penanganan limbah ini, industri penyamakan kulit berperan penting dalam meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyarakat sekitar. Namun, di sisi lain, limbah yang dihasilkan dari proses penyamakan sering kali menimbulkan pencemaran lingkungan yang serius.

Warga yang telah tinggal di daerah tersebut selama puluhan tahun mengungkapkan bahwa mereka sangat terganggu oleh bau limbah yang menyengat dan dibuang langsung ke sungai. “Bau busuk dari kulit dan bulu hewan sangat mengganggu,” kata Taufik. Pencemaran udara dan air yang diakibatkan oleh limbah cair ini tidak hanya berdampak pada kualitas hidup masyarakat, tetapi juga menimbulkan risiko kesehatan yang nyata.

Tim dosen ITB berupaya untuk mencari solusi inovatif terhadap permasalahan ini dengan menjajal dua model penanganan limbah. Salah satu model tersebut adalah dengan memanfaatkan lahan basah buatan (constructed wetland) yang bertujuan untuk mengolah limbah dengan menggunakan tumbuhan. Selain itu, sebagian pengrajin kulit di daerah tersebut telah mencoba mengolah limbahnya dengan menggunakan bak sedimentasi. Bak sedimentasi ini berfungsi untuk mengendapkan partikel-partikel padat dalam limbah, sehingga limbah yang dibuang ke lingkungan sudah melalui proses awal pengurangan zat pencemar.

Meskipun sudah ada upaya dari para pengrajin untuk mengolah limbahnya, hal ini masih belum cukup untuk mengatasi dampak pencemaran secara keseluruhan. Oleh karena itu, pendekatan teknologi yang lebih berkelanjutan, seperti yang diperkenalkan oleh tim dosen ITB, menjadi penting untuk memberikan solusi jangka panjang yang lebih baik bagi warga dan lingkungan sekitar.

Dengan penerapan teknologi lahan basah buatan dan peningkatan kapasitas pengolahan limbah oleh pengrajin, diharapkan industri penyamakan kulit di Garut dapat tetap memberikan manfaat ekonomi tanpa mengorbankan kualitas lingkungan dan kesehatan masyarakat.

Lahan Basah Buatan: Solusi Ramah Lingkungan untuk Pengolahan Limbah di Garut

Salah satu model yang diujicoba oleh tim dosen ITB untuk mengatasi limbah penyamakan kulit di Garut adalah lahan basah buatan. Sistem ini menggunakan kerangka sederhana dari pipa peralon berukuran 2×1 meter, yang diisi dengan ijuk dan jaring, serta ditanami tumbuhan seperti rumput gajah, ekor kucing, dan bunga tasbih. Tumbuhan ini berfungsi sebagai penyerap limbah secara alami, mengurangi kandungan polutan yang mencemari lingkungan. “Kalau di luar negeri sudah biasa dipakai untuk limbah industri atau domestik,” ujar Taufik, dosen ITB yang memimpin proyek ini.

Sistem lahan basah buatan ini memiliki beberapa keunggulan, antara lain biaya yang relatif murah dan perawatan yang mudah. Selain itu, sistem ini juga dapat diaplikasikan di kolam limbah setiap industri penyamakan kulit maupun di Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL). Hal ini membuatnya menjadi solusi yang menarik, terutama bagi pengusaha lokal yang memiliki keterbatasan sumber daya untuk mengolah limbah mereka secara efektif.

Di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa, lahan basah buatan telah banyak digunakan untuk mengolah limbah, baik itu dari industri maupun limbah domestik. Namun, penerapannya di Garut menghadapi tantangan tersendiri. Salah satunya adalah keterbatasan lahan yang dimiliki oleh pengusaha kulit setempat. Lahan basah buatan biasanya memerlukan area yang luas untuk dapat berfungsi secara optimal, sementara banyak pengusaha di Garut tidak memiliki cukup ruang untuk membangun kolam sedimentasi sebagai bagian dari sistem pengolahan limbah.

Di sisi lain, kolam IPAL yang disediakan oleh pemerintah daerah belum berjalan dengan optimal, sehingga para pengusaha kulit di Garut masih kesulitan dalam mengelola limbahnya secara efisien. Kondisi ini menimbulkan masalah pencemaran lingkungan yang berdampak negatif pada kualitas hidup masyarakat sekitar.

Dengan adanya lahan basah buatan ini, tim ITB berharap dapat memberikan alternatif solusi yang lebih berkelanjutan dan efektif bagi pengolahan limbah industri penyamakan kulit di Garut, sekaligus meningkatkan kesadaran para pengusaha akan pentingnya menjaga lingkungan. Meskipun masih menghadapi beberapa tantangan, lahan basah buatan menjadi langkah awal yang penting dalam mewujudkan industri yang lebih ramah lingkungan di Garut.

Model Filtrasi Bertingkat: Inovasi untuk Mengurangi Pencemaran Limbah Kulit

Selain lahan basah buatan, tim dosen ITB juga mengembangkan model kedua untuk menangani limbah penyamakan kulit di Garut, yakni dengan susunan tiga kotak bertingkat yang berisi berbagai media filtrasi seperti kerikil, arang, dan ijuk. Sistem filtrasi ini berfungsi untuk menyaring dan membersihkan limbah cair dari industri penyamakan kulit, sehingga air yang dihasilkan dapat digunakan untuk keperluan rumah tangga, meskipun tidak untuk dikonsumsi.

Model ini cukup sederhana dan praktis untuk diaplikasikan, terutama bagi para pengrajin kulit yang membutuhkan solusi cepat dan efisien untuk mengurangi tingkat pencemaran limbah cair yang dihasilkan. Dengan menggunakan media seperti kerikil dan arang, sistem ini mampu menyaring partikel berbahaya dalam limbah dan menghasilkan air yang lebih bersih untuk berbagai kebutuhan non-konsumsi.

Taufik, salah satu dosen yang terlibat dalam proyek ini, menekankan pentingnya kerja sama yang luas dan melibatkan berbagai pihak serta disiplin ilmu untuk mengatasi persoalan limbah dari industri kulit di Garut secara menyeluruh. Penanganan limbah bukan hanya persoalan teknologi, tetapi juga membutuhkan dukungan dari pemerintah, pengrajin, dan masyarakat untuk dapat berjalan secara efektif.

Yuli Setyo Indartono, Direktur Direktorat Riset dan Pengabdian Masyarakat ITB, juga memberikan pandangannya mengenai proyek ini. Menurutnya, alat yang dipasang di beberapa tempat pengrajin kulit diharapkan dapat mengurangi tingkat zat pencemar dalam limbah secara signifikan. Lebih lanjut, Yuli menegaskan bahwa revitalisasi IPAL komunal di setiap pabrik merupakan langkah strategis yang harus dilakukan untuk memastikan bahwa masalah limbah cair dapat diatasi dengan optimal. Dengan memperbaiki dan meningkatkan kinerja IPAL komunal, limbah dari berbagai pengrajin dapat dikelola secara bersama-sama, sehingga kualitas lingkungan di Garut dapat ditingkatkan.

Proyek ini menegaskan pentingnya pendekatan lintas sektor untuk mengatasi masalah lingkungan yang kompleks. Kolaborasi antara akademisi, pemerintah, industri, dan masyarakat menjadi kunci dalam upaya menciptakan solusi yang berkelanjutan dan efektif bagi masalah limbah penyamakan kulit, sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan dan kesehatan masyarakat di Garut.

 

 

Baca juga artikel kesehatan lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *