Satryo Soemantri dan Dilema AI: Teknologi Canggih atau Ancaman
8 mins read

Satryo Soemantri dan Dilema AI: Teknologi Canggih atau Ancaman

Satryo Soemantri – Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek), Satryo Soemantri Brodjonegoro, dalam beberapa kesempatan menyinggung dampak perkembangan kecerdasan buatan (AI) terhadap masa depan dunia kerja. Beliau menyoroti bagaimana teknologi AI memiliki potensi besar untuk mengubah struktur pekerjaan, di mana banyak pekerjaan yang selama ini dilakukan oleh manusia berpotensi digantikan oleh sistem otomatis dan algoritma canggih.

Setelah dilantik menjadi Mendiktisaintek, Satryo secara resmi akan melanjutkan tugas Nadiem Makarim, yang sebelumnya memimpin Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek). Dalam masa transisi ini, Satryo menghadapi tantangan besar dalam memastikan bahwa perkembangan teknologi, terutama kecerdasan buatan, dapat memberikan manfaat bagi masyarakat, tanpa mengorbankan lapangan kerja manusia.

Satryo mengakui bahwa perkembangan AI menawarkan berbagai peluang baru, termasuk peningkatan efisiensi, inovasi dalam berbagai sektor, dan kemudahan akses informasi. Namun, di sisi lain, beliau juga mengakui adanya dilema yang muncul, terutama terkait risiko hilangnya pekerjaan karena otomatisasi. Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: bagaimana memastikan bahwa manusia tetap relevan dalam dunia kerja di era AI yang semakin maju?

AI dan Masa Depan Pekerjaan: Ketidakpastian yang Disoroti oleh Satryo Soemantri

Dalam pidatonya setelah proses serah terima jabatan di Gedung A Kemendikbudristek, Jakarta, pada Senin, 21 Oktober 2024, Satryo Soemantri Brodjonegoro mengungkapkan kekhawatirannya terkait dampak perkembangan kecerdasan buatan (AI) terhadap masa depan pekerjaan. “Kita tidak tahu nanti tahun 2030, pekerjaan apa yang masih ada di bumi ini? Pekerjaan apa yang masih ada, karena perkembangan AI yang demikian pesat,” ungkapnya.

Pernyataan ini menyoroti ketidakpastian yang dihadapi oleh masyarakat dan pemerintah dalam menghadapi pesatnya perkembangan AI. Satryo menggarisbawahi fakta bahwa banyak jenis pekerjaan yang saat ini ada berpotensi menghilang atau berubah drastis dalam beberapa tahun mendatang. Dengan kemampuan AI yang terus berkembang, pekerjaan yang melibatkan tugas-tugas berulang dan administratif akan semakin rentan untuk digantikan oleh teknologi otomatis, sehingga diperlukan langkah-langkah yang tepat untuk mempersiapkan tenaga kerja masa depan.

Dalam menghadapi tantangan ini, Satryo juga mengajak seluruh pemangku kepentingan untuk bersama-sama mencari solusi agar manusia tetap relevan di dunia kerja. Pendidikan dan pelatihan keterampilan menjadi fokus utama dalam memastikan bahwa masyarakat siap menghadapi perubahan yang tidak terelakkan ini. Dia menekankan pentingnya pengembangan keterampilan yang tidak mudah digantikan oleh AI, seperti kreativitas, kemampuan interpersonal, dan keterampilan berpikir kritis, untuk memastikan bahwa manusia tetap menjadi pemain utama di era otomatisasi.

Serah Terima Jabatan: Nadiem Makarim Serahkan Tugas kepada Tiga Menteri Baru di Bidang Pendidikan dan Kebudayaan

Dalam proses serah terima jabatan yang dilaksanakan di Gedung A Kemendikbudristek, Jakarta, mantan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti), Nadiem Makarim, secara resmi menyerahkan tugasnya kepada tiga menteri baru yang akan memimpin sektor pendidikan, kebudayaan, serta sains dan teknologi. Tiga menteri baru tersebut adalah:

  1. Satryo Soemantri Brodjonegoro sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Mendiktisaintek).
  2. Abdul Mu’ti sebagai Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah.
  3. Fadli Zon sebagai Menteri Kebudayaan.

Dalam kesempatan tersebut, Nadiem Makarim menyampaikan harapannya agar tiga menteri baru ini dapat melanjutkan dan memperluas inisiatif-inisiatif yang sudah dirintis selama masa jabatannya. Ia menekankan pentingnya sinergi antara pendidikan dasar, menengah, pendidikan tinggi, serta pengembangan sains dan teknologi, untuk memastikan bahwa setiap sektor pendidikan di Indonesia saling terhubung dan dapat berkembang secara holistik.

Satryo Soemantri, sebagai penerus Nadiem di bidang pendidikan tinggi dan teknologi, akan memimpin kebijakan dalam mempersiapkan generasi muda menghadapi tantangan era kecerdasan buatan (AI) dan teknologi yang terus berkembang. Sementara itu, Abdul Mu’ti akan fokus pada pendidikan dasar dan menengah untuk memastikan pendidikan yang inklusif dan merata di seluruh Indonesia. Fadli Zon, dengan latar belakang yang kuat dalam budaya, diharapkan dapat mengangkat kembali kekayaan budaya nasional dan menjadikannya sebagai salah satu sumber daya kekuatan bangsa.

Serah terima jabatan ini tidak hanya menjadi simbol pergantian kepemimpinan, tetapi juga menjadi titik tolak bagi masa depan pendidikan dan kebudayaan Indonesia di tengah perubahan teknologi yang sangat pesat.

Satryo Soemantri: “Hampir Semua Pekerjaan Berpotensi Digantikan oleh AI”

Satryo Soemantri Brodjonegoro, sebagai Menteri Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi, menyoroti ancaman dan peluang yang datang bersama perkembangan pesat kecerdasan buatan (AI). Menurutnya, hampir semua pekerjaan di masa depan berpotensi untuk digantikan oleh mesin dan teknologi berbasis AI. Hal ini menghadirkan tantangan besar bagi dunia pendidikan tinggi dan riset untuk bersiap menghadapi masa depan yang penuh ketidakpastian.

Dalam pidatonya, Satryo mengajak seluruh pemangku kepentingan di sektor pendidikan tinggi dan riset untuk beradaptasi dan siap dengan perubahan tersebut. “Bagaimana kita bisa mengajari anak-anak kita sesuatu yang kita tidak tahu? Masa depan seperti apa?” ujarnya. Pertanyaan ini mencerminkan kekhawatirannya tentang bagaimana pendidikan harus bertransformasi untuk tetap relevan di tengah perubahan teknologi yang tidak dapat diprediksi.

Metode Pembelajaran Baru yang Lebih Kritis

Satryo juga menekankan pentingnya pengembangan metode pembelajaran baru yang lebih kritis untuk generasi baru. Ia meyakini bahwa pendekatan tradisional dalam pendidikan, terutama dalam bidang teknik dan sains, harus mulai ditinggalkan dan digantikan dengan metode yang lebih adaptif dan inovatif. Sebagai contoh, ilmu teknik mesin yang diajarkan pada era 1980-an, menurutnya, kini mulai tidak relevan sebagai materi pembelajaran. Dengan perubahan teknologi yang begitu cepat, ilmu-ilmu tersebut bahkan mungkin tidak akan digunakan lagi di masa depan.

Untuk menghadapi situasi ini, Satryo mengajak para akademisi dan pemangku kepentingan di pendidikan tinggi untuk mengembangkan kurikulum yang fleksibel, yang tidak hanya mengajarkan keterampilan teknis tetapi juga membekali siswa dengan kemampuan berpikir kritis, beradaptasi, dan kreativitas. Pembelajaran yang lebih menitikberatkan pada pemecahan masalah, kolaborasi, dan kemampuan inovasi akan membantu generasi muda untuk tetap relevan dan siap menghadapi tantangan pekerjaan di era teknologi yang serba otomatis.

Menyiapkan Generasi yang Mampu Beradaptasi

Pernyataan Satryo ini juga menunjukkan bahwa fokus pendidikan ke depan harus lebih kepada bagaimana menyiapkan generasi yang tidak hanya memiliki pengetahuan teknis, tetapi juga mampu beradaptasi dengan cepat terhadap perubahan. Keterampilan-keterampilan seperti problem-solving, pengambilan keputusan, dan inovasi teknologi adalah kunci untuk memastikan bahwa anak-anak kita tidak hanya siap bekerja, tetapi juga siap menciptakan peluang di dunia kerja yang akan datang.

Dengan mengedepankan metode pembelajaran yang kritis dan membekali generasi muda dengan keterampilan yang relevan, Satryo optimis bahwa Indonesia bisa menghadapi tantangan di era kecerdasan buatan. Pendidikan tidak lagi hanya tentang mengajarkan apa yang diketahui hari ini, tetapi juga tentang menyiapkan mental dan keterampilan untuk menghadapi hal-hal yang belum pasti di masa depan.

Menekankan Pentingnya Berpikir Kritis untuk Menghadapi Era AI

Dalam pidatonya, Satryo Soemantri Brodjonegoro menekankan bahwa salah satu keterampilan paling penting yang harus dimiliki oleh generasi mendatang adalah kemampuan berpikir kritis. “Harus membuat anak-anak kita di semua lini punya critical thinking. Otherwise, kita tidak bisa survive di masa depan,” ujarnya. Dengan perkembangan pesat teknologi, khususnya kecerdasan buatan (AI), kemampuan berpikir kritis menjadi lebih relevan dari sebelumnya.

Satryo mengungkapkan bahwa perkembangan AI membawa banyak ketidakpastian dalam hal pekerjaan dan peran manusia di masa depan. Ia menekankan bahwa untuk bisa bertahan dan tetap relevan, generasi muda harus memiliki kemampuan untuk menganalisis informasi, mengevaluasi berbagai perspektif, dan membuat keputusan yang tepat dalam situasi yang kompleks dan tidak pasti.

Bukannya menakut-nakuti, but that’s the fact,” tambah Satryo, menunjukkan urgensi dari situasi ini. Tantangan yang dihadapi bukanlah hal yang mudah, namun dengan keterampilan berpikir kritis yang kuat, Satryo percaya bahwa generasi mendatang akan dapat menghadapi ketidakpastian dengan lebih baik, tidak hanya beradaptasi dengan perubahan teknologi, tetapi juga mampu mengembangkan solusi inovatif yang relevan untuk masa depan.

Berpikir Kritis sebagai Kunci untuk Bertahan

Dalam dunia yang terus berubah, berpikir kritis adalah kemampuan untuk mengajukan pertanyaan, tidak menerima segala sesuatu begitu saja, dan berani mencari jawaban yang lebih mendalam. Satryo percaya bahwa keterampilan ini harus dikembangkan sejak dini, baik di rumah maupun di sekolah, untuk mempersiapkan anak-anak kita menghadapi tantangan pekerjaan di era AI.

Dengan perkembangan teknologi yang terus menggantikan pekerjaan-pekerjaan yang rutin dan berulang, hanya keterampilan yang tidak bisa direplikasi oleh mesin yang akan menjadi nilai tambah bagi manusia di dunia kerja. Berpikir kritis memungkinkan seseorang untuk melihat peluang di tengah ketidakpastian, mengambil keputusan yang baik, dan berinovasi—hal-hal yang menjadi kunci untuk tetap survive dan relevan dalam pekerjaan di masa depan.

 

Baca juga artikel kesehatan lainnya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *